Saat masih TK atau SD, kita pasti
pernah mengucapkan apa cita-cita kita. Mungkin ada diantara kita yang berucap
ingin menjadi dokter, guru, pilot, polisi, tentara, atau bahkan kita berani
bercita-cita menjadi seorang presiden. Beranjak SMP atau SMA kita mulai
merenungkan lagi cita-cita “monyet” kita dulu, karena berusaha bersikap
realistis. Bagaimana mungkin dengan nilai pas-pasan ingin jadi dokter, dengan
badan yang gak memenuhi syarat ingin menjadi tentara atau polisi dan berbagai
keragu-raguan pada diri kita tentang cita-cita tinggi kita saat masih ingusan
dulu.
Beranjak menjadi mahasiswa, meskipun kita sudah
masuk di konsentrasi fakultas, kita masih saja-mungkin masih belum berani
bercita-cita ingin menjadi apakah kita setelah lulus…Sudah menjelang kelulusan,
atau mulai mengerjakan skripsi, hati dan pikiran masih diliputi ketakutan, apa
yang akan aku lakukan setelah lulus??
Pernahkah kita memimpikan apa yang akan kita
capai setelah kita lulus? Atau
jangan-jangan kita menjadi orang yang takut bercita-cita?
Masa depan menurut orang-orang pinter adalah mimpi
saat ini. Masa depan adalah refleksi kehidupan kita saat ini. Kehidupan yang
kita pilih saat ini menjadi sebuah cerminan lain dari kehidupan kita di masa
mendatang. Keberanian kita mengambil resiko hari ini bisa jadi menjadi
kesuksesan tak terduga di masa depan kita. Flashback pada jaman Rosulullah,
kita bisa belajar bagaimana beliau dan para sahabat memutuskan untuk berani
mengambil resiko dibenci, disisihkan dari kelompok, dicap orang gila, mendapat
siksaan mental maupun fisik, bahkan saat Rosul SAW diangkat menjadi Rosulullah,
beliau mengorbankan kehidupan konglomerasi yang beliau bangun sejak muda dan
sejak bersama Ibunda Khadijah. Lalu apakah kita berani mengorbankan sesuatu yang
paling kita cintai?? Untuk sesuatu yang lebih baik di masa depan??
Sebagai generasi yang ditempa menjadi cendekiawan
dan kaum intelek, apakah kita sudah menempa diri kita, sebagaimana Rosul SAW
dulu belajar berdagang, berperang sejak dari remaja?? Sebagai siswa, dengan
embel-embel ke-“maha”-annya, apakah kita sudah benar-benar belajar memahami
disiplin ilmu kita tersebut??
Bertolak belakang dengan status kita sebagai mahasiswa, kita yang telah
mengambil resiko di jalan dakwah ini, apakah masih benar-benar serius dalam
mendalami ilmu yang sedang ditempuh di kampus….????
Cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan masa depannya,
bagi sebagian orang cita-cita itu adalah tujuan hidup dan bagi sebagian yang
lain cita-cita itu hanyalah mimpi belaka. Bagi orang yang menganggapnya sebagai
tujuan hidupnya maka cita-cita adalah sebuah impian yang dapat membakar
semangat untuk terus melangkah maju dengan langkah yang jelas dan mantap dalam
kehidupan ini sehingga ia menjadi sebuah akselerator pengembangan diri namun
bagi yang menganggap cita-cita sebagai mimpi maka ia adalah sebuah impian
belaka tanpa api yang dapat membakar motivasi untuk melangkah maju. Manusia
tanpa cita-cita ibarat air yang mengalir dari pegunungan menuju dataran rendah,
mengikuti kemana saja alur sungai membawanya. Manusia tanpa cita-cita bagaikan
seseorang yang sedang tersesat yang berjalan tanpa tujuan yang jelas sehingga
ia bahkan dapat lebih jauh tersesat lagi. Ya, cita-cita adalah sebuah rancangan
bangunan kehidupan seseorang, bangunan yang tersusun dari batu bata
keterampilan, semen ilmu dan pasir potensi diri.
Bagaimanakah jadinya nanti jika kita memiliki beribu-ribu batu bata,
berpuluh-puluh karung semen dan berkubik-kubik pasir serta bahan-bahan bangunan
yang lain untuk membuat rumah namun kita tidak mempunyai rancangan maupun
bayangan seperti apakah bentuk rumah itu nanti. Alhasil, mungkin kita akan
mendapatkan rumah dengan bentuk yang aneh, gampang rubuh atau bahkan kita tidak
akan pernah bisa membuat sebuah rumah pun.
Fenomena seseorang tanpa cita-cita bisa dengan
mudah kita temui, cobalah tanya kepada beberapa orang siswa SMU yang baru
lulus, akan melanjutkan studi di mana mereka atau apa yang akan mereka lakukan
setelah mereka lulus. Mungkin sebagian dari mereka akan menjawab tidak tahu,
menjawab dengan rasa ragu, atau mereka menjawab mereka akan memilih suatu
jurusan favorit di PTN tertentu. Apakah jurusan favorit tersebut mereka pilih
karena memang mereka tahu potensi mereka, tahu seperti apa gambaran umum
perkuliahan di jurusan tersebut dan peluang-peluang yang dapat mereka raih
kedepannya karena berkuliah di jurusan tersebut, sekedar ikut-ikutan teman,
gengsi belaka, trend, karena mengikuti “anjuran” orang tua, atau bahkan asal
pilih? Yang terjadi selanjutnya adalah di saat perkuliahan sudah berlangsung,
beberapa dari mereka ada merasa jurusan yang dipilihnya tidak sesuai dengan apa
yang dia bayangkan atau tidak sesuai dengan kemampuannya. Boleh jadi setelah
itu ia akan mengikuti ujian lagi di tahun depan atau malas-malasan belajar
dengan Indeks Prestasi Kumulatif alakadarnya. Sungguh suatu pemborosan terhadap
waktu, biaya dan tenaga.
Dahulu ada sebuah tradisi kurung ayam, balita yang
sudah berumur beberapa bulan dikurung dalam sebuah kurungan ayam yang ditutuipi
kain. Lalu di sekeliling kurungan tersebut disimpan berbagai macam benda yang
mewakili profesi seperti gitar (musisi),
spidol (pengajar/guru), sarung tinju (atlit), pesawat-pesawatan (pilot) dan
lain-lain. Lalu orang tua akan memperhatikan benda apakah yang pertama kali
diambil oleh balita tersebut, jika ia mengambil terompet maka orang tua akan
beranggapan sang bayi kelak akan menjadi seorang musisi atau berpotensi menjadi
seorang musisi. Namun tampaknya adat semacam ini jarang dilakukan lagi. Nilai
yang dapat diambil dari tradisi semacam ini adalah bahwa orang tua mempunyai
peranan penting dalam memfasilitasi anaknya untuk mengeksplorasi bakat dan
minat yang dipunyainya. Dan membantu untuk mengembangkan potensi yang
dimilikinya.
Sejujurnya semua orang itu pasti mempunyai
cita-cita tidak mungkin dan mustahil apabila ada seseorang yang tidak mempunyai
cita-cita, memang awalnya itu dari berkhayal bisajadi dan insaallah menjadi
kenyataan kelak nantinya & selagi berkhayal itu tidak bayar kenapa tidak
kita coba berhayal tentang planing di masa depan kita nantinya.
Banyak juga orang yang sudah mendapatkan impiannya
yah atau bisa di bilang itu cita-citanya tetapi orang itu masih belum puas
dengan apa yang telah dia dapatkannya, memang setiap orang itu ditanamkan pada
dirinya rasa tidak kepuasan dengan apa yang telah ia dapatkan,oleh sebab itu
saya menyarankan cobalah untuk bisa mengontrol diri dengan semua yang
berlebihan sehingga tidak membuat kita pun tidak berlebihan.
Cita-cita bukan hanya terkait dengan sebuah
profesi namun lebih dari itu ia adalah sebuah tujuan hidup. Seperti ada
seseorang yang bercita-cita ingin memiliki harta yang banyak, menjadi orang
terkenal, mengelilingi dunia, mempunyai prestasi yang bagus dan segudang
cita-cita lainnya. Namun seorang muslim tentunya akan menempatkan cita-citanya
di tempat yang paling tinggi dan mulia yaitu menggapai keridhaan Allah.
Labels: ILMU BUDAYA DASAR #, Tugas
0 comments: